Kamis, 08 Mei 2014

Cerpen : Sisi Lain ( 1 jam )


Malam minggu ini mengharuskanku keluar rumah, untuk pergi ke pesta ulang tahun teman lama. Aku akan datang walaupun sadar jarak rumahku jauh, aku hanya tak ingin mengecewakan. Meskipun kehadiranku bukan yang paling diharapkan. Dari sore aku bersiap, hadiah ulang tahun untuk Sam sudah berada di tas. Perjalanan dari rumahku ke tempatnya membutuhkan waktu satu setengah jam dengan kereta.

***

 Aku tiba dipesta Sam pukul 8 malam. Di sana aku bertemu teman-teman lama, ini terasa seperti reuni. Kami banyak berbincang dan bertukar cerita sampai tak terasa sudah pukul sepuluh dan aku kaget ketika menyadarinya aku pamit kepada Sam dan dia ingin mengantarku sampai stasiun dekat situ, dan ternyata dugaanku benar sudah tak ada kereta dari stasiun itu. Aku meminta Sam mengantarku ke stasiun lain namun tak mungkin Sam sang tuan rumah dan pangeran pesta meninggalkan tamunya.

Sam memutuskan meminta tolong salah satu temannya mengantarku ke stasiun lain. Aku pun mengiyakan, karena tak mungkin juga aku menginap mamaku tak pernah mengizinkan sekalipun aku bukan anak kecil lagi.

Aku memakai helm dan naik ke motor yang akan dikendarai cowok asing itu, sebelumnya aku memecah kecanggungan dengan memperkenalkan diriku.
"Hey, nama kamu siapa? Aku Olivia."
"Aku Edward." katanya sambil mulai menyalakan kuda besinya. "Oh, iya rumahmu dimana? Sampai harus naik kereta?"
"Rumahku di daerah Bogor.”
“Wah cukup jauh yah kalau begitu.” Serunya.
“Iya, makanya sekarang harus buru-buru.” Aku member kode agar ia cepat mengantarku.

Disepanjang perjalanan Edward mengajakku ngobrol tentang dia dan Sam yang telah berteman berapa lama, dan ia menanyakan aku dan Sam sedekat apa. Dan aku mulai bercerita tentang aku dan Sam yang memang dekat seperti keluarga dan tentang kelakuan Sam yang akhir-akhir ini terlihat gusar. Dia ternyata orang yang sangat peduli pada sabahatku yang satu ini. Senang mengetahui bahwa Edward adalah teman yang baik untuk Sam itu yang Sam butuhkan, dukungan.

Edward mengantarku ke stasiun Cikini, dia mengendarai motornya dengan kecepatan yang tinggi, agar aku tak ketinggalan kereta. Kira-kira 15 menit aku tiba di Cikini. Dia memarkirkan motornya.
“Oliv, tunggu sebentar ya, aku mau beli rokok dulu.”
“Oke, aku tunggu sini saja ya.” Dan dia hanya tersenyum dan masuk ke mini market di stasiun.
“Liv, ayo.” Katanya seraya keluar menutup pintu mini market itu.

Aku sedikit terkejut, aku kira dia takkan mengantarku eh, maksudku menungguku sampai keretanya datang ternyata dia mengikutiku samapi peron. Yah, Karena sudah malam dia diperbolehkan menunggu di peron bersamaku.

“Aduh, pengen ngerokok.” Keluhnya, agak gusar.
“Yasudah ngerokok saja, asal jangan terlalu dekat-dekat denganku yah hehehe.. Asapnya itu loh.” Ungkapku jujur.
“Iya-iya, ngomong-ngomong kok gak ngerokok si liv? Tadi aku lihat teman-teman perempuanmu ngerokok semua?”
“Itu mereka bukan saya, saya berbeda dengan mereka.” Ucapku sambil tersenyum.
Edward tersenyum sambil melihat sekeliling, matanya mencari orang yang sedang merokok. “Bagus, memang seharusnya seperti itu.”
“Eh itu, di sebelah sana.” Kataku sambil menunjuk bapak-bapak dengan puntung rokok ditangannya.”
“Hehehe.. Makasih liv, ngeliat aja kamu, sebentar yah..” Dia berjalan menuju bapak itu aku hanya mengangguk.

***

Tak berapa lama dia kembali ke tempatku duduk dan mengambil sedikit jarak, dia memacah keheningan yang ada.
“Liv, udah berteman sama Sam berapa lama? Tadi kan katamu mengenal Sam sejak SMA, dari kelas berapa?”
“Aku kenal dia tuh  sudah dari kelas 1 makanya sekarang dekat banget, meski dulu kita sering bertangkar  tapi tetap saja baikan lagi.”
“Hahaha.. Oh begitu ya.”
“Iya, kamu sendiri?”
“Iya aku dekat sama dia karena sering hang out bareng dan satu tempat kerja.” Aku hanya menanggapi dengan anggukan dan kata “Oh..” Singkatku.
“Rumah kamu kan jauh liv, kenapa gak datang sama pacar.”  Katanya dan aku menjawab santai.“Sama pacar? Hahaha.. Ya kalau ada pacarnya. Kamu sendiri?” Kataku sambil menatapnya mata bola mata indah itu terhalang lensa kontak warna biru savier mata yang indah dengan bulu mata lentik yang tadi sempat mengingatkanku pada seseorang.

“Pacar si ada tapi ribet kalau bawa pacar ke acara teman.” Katanya.
“Kok gitu bukannya seru ya bisa nikmati acara bareng orang yang kita sayang dan memperkenalkannya ke teman.” Ujarku agak panjang  sambil mengadah ke indahnya langit malam.
“Eman benar liv, tapi tidak semua orang dapat menerima cowokku kan?” Edward sedikit mengecilkan suaranya.
“Oh begitu toh, iya juga si.” Aku berkata tenang sambil menatapnya dengan senyum tipis.
“Kok gak kanget?” Herannya. Aku hanya mebalas dengan tatapan misterius karena aku telah tau itu sejak awal berkenalan dengannya dia pun melanjutkan percakapan.

“Yup, jadi seperti itu liv, aku si mau jujur saja tinggal terserah orang mau gimana selanjutnya. Gak masalah kan liv?” Tanyanya.
Aku sedikit heran ini orang ini, kami padahal baru ketemu dan saling mengenal namun ia sudah blak-blakan sekali. “Tenang saja, itu kan urusanmu dan hidupmu jadi aku tak akan mencampuri.”
“Wow keren, hebat dah. Terima kasih ya.” Ucapnya sambil sesekali menghisap rokoknya. “Lagian, sebenarnya aku sudah capek di dunia seperti ini, dunia gelap, penuh dengan dosa.”
“Hmm.. Lalu apa tindakanmu selanjutnya ketika tau dirimu sudah lelah?”
“Sungguh aku ingin bergerak perlahan tapi pasti keluar dari dunia ini, kau tau, seorang gay itu lebih menyeramkan dan menakutkan daripada wanita yang terbakar cemburu atau hantu hahaha..”
Aku terkikih mendengarnya dan melihat gaya dia berbicara, orang ini benar-benar konyol tapi kehidupannya sungguh.. Mengerikan… “Aku yakin kok, kamu bisa asal ada niat untuk benar-benar bertaubat.”
“Kamu benar, terima kasih yah..”
“Yang penting eksekusinya maksudku tindakanmu jangan sekedar wacana, ngomong-ngomong makasih mulu aku kan tidak bantu apa-apa, ini sekedar sharing dan dengan ini aku juga bisa lebih berhati-hati.”
“Nah itu dia, mulai sekarang makanya aku lebih mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa dan menjauh dari dunia itu, maksudnya berhati-hati apa?”
“Iya lebih berhati-hati dalam menjaga diri, kau paham kan apa maksudnya.”
“Ohh seperti itu, ia aku mengerti. Emang kewaspadaan sangatlah harus dan iman yang kuat juga sangat teramat penting agar tak mudah terjerumus.” Nasehatnya, dan aku meng’iyakan’ perkataannya.
“Hmm.. Kenapa gak cari pacar lagi?” Lanjut Edward dengan pertanyaan yang melenceng dari topik sebelumnya. ‘Perasaan tadi dia yang sedang bercerita deh?’ Kataku dalam hati.
“Aku lagi mau fokus dengan studiku.” Jawabku tegas dan ia mulai gencar menimpali pertanyaan baru.
“Ohh, baguslah.. Jomblo berapa lama?”
“Setangah tahun lebih.” Jawabku singkat.
“Hmm.. Masih sayang?” Dan pertanyaannya pun mulai tak layak untuk dijawab menurutku. ‘Orang ini ingin tahu banget si, kepoooo.’ Teriakku dalam hati.
“Kalau diam berarti iya.” Edward benar-benar rese.
“Eh, 3 bulan lagi kiamat.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Terus kenapa? Lagian  percaya si sama suku Maya. Bajaj lewatttt.. Hahahha” Keingintahuannnya semakin menjadi semakin menjadi pula ia meledek. “Kenapa tidak kembali?” Dia bertanya lagi dengan nada santai.
"Kembali gopek? Apa seribu?" Tanyaku yang membalas ledekannya.
"Maksudku balikan non.."
“Ooohh.. Jadi begini.. Menghubungkan kembali sesuatu yang telah terputus tidaklah mudah, mungkin memang bisa atau tidak sama sekali, biarkan saja berjalan apa adanya, biar waktu yang membimbing, ketulusan dan kesabaran tak akan berbuah pahit bukan? Setelah itu biarkan Allah berkehendak.” Tuturku dengan nada yang sangat tenang dan dia hanya menatapku kemudian memberikan senyum hangat nan penuh keheranan.
“Keren dah kata-katanya.”
“Biasa aja Ed, jangan berlebihan.” Kataku.
“Senang sekali bisa bertemu dengan orang sepertimu liv.” Ungkap Edward diselingi pengumuman bahwa kereta yang kutunggu lima menit lagi tiba.
“Sama-sama Ed, oh iya titip Sam yah Ed, gak tega melihat dia yang sekarang.” Kataku yang merasa simpati.
“Pasti. Tenang saja, aku pun merasa dia bukan Sam yang ku kenal sekarang.”
“Sam tidak pernah berubah kok, hanya keadaan yang memaksa dia jadi seperti itu apalagi sekarang sudah jauh dari ibunya. Selalu temenin dia yah.” Pintaku.
“Kuharap dia sudah berhenti, kasian badannya dan orangtuanya.”
“Hmm, iya semua kembali ke dirinya, kita hanya bisa mendoakan saja suatu saat otaknya benar lagi, jika tidak yah tunggu saja ajal menjemputnya dengan segala dosanya.” Kata-kataku sedikit membuat Edward kaget dan dia metapku lekat, menatap wajahku yang tampak dari samping. “Wow, ngeri, serem betul.” Lirihnya.
Aku menolehkan wajahku “kenapa? Salah ngomong yah? Aku juga manusia yang punya dosa tapi setiap harinya aku sadar siapa yang memiliki aku, aku berkata seperti itu untuk mengingatkan diriku juga. ”
“Enggak kok, emang bener banget kata kamu walau rada frontal kedengarannya tapi mantap hahahah..” Dia mengancungkan jempolnya.
Aku ikut tertawa “Hahahaha.. Inilah aku, salam kenal eh sepertinya keretanya sudah datang, makasih yah udah nemenin, salam buat Sam.”
“Iya sama-sama, nanti kabarin Sam yah kalau sudah sampai biar dia gak bawel.” Kata cowok di hadapanku yang berjalan elok.
“Byeee..” Aku naik ke kereta dan melambaikan tangan ke arahnya.

 Berjalannya kereta menutup perbincanganku dengan orang asing itu yang kurang lebih berlangsung satu jam. Hal baru, kisah baru kudapat. Dari suatu hal baru yang didapat satu hal yang harus diingat bahwa untuk mengehatui dan merasakan suatu hal baru kita tidak harus langsung merasakan atau mengalami hal itu, kita bisa merasakannya serta belajar  melalui pengalaman  seseorang, karena apa? Karena untuk mencoba suatu hal baru kita harus bisa berkomitmen untuk keluar dan meninggalkan  hal itu jika memang  wajib untuk ditinggalkan. Ketahuilah hanya beberapa saja orang hebat yang dapat bangkit dan melepaskan diri dari hal itu.

Sulit bukan berarti tidak bisa 



END

CIKADEV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar